Selamat Datang di Kios Madinah dan Selamat Membaca Varian Postingannya

:: Adab Berhutang-Piutang


Sobat-sobat Kios madinah yang baik hati, pada kesempatan ini admin kembali mem-publish postingan dengan kategori “Renungan” dengan judul:

ADAB BERHUTANG-PIUTANG

Adab berhutang-piutang ini merupakan hal penting yang tak dapat disepelekan karena berkenaan dengan hak orang lain  atau hak-hak adami yang mana urusannya bisa saja tidak selesai hanya di dunia melainkan terus berlanjut hingga ke akhirat. Ini sangat mungkin terjadi apabila pihak pemberi hutang tidak ridha terhadap pihak yang berhutang karena tidak/belum melunasi hutangnya sehingga ia wafat sementara ahli warisnya tidak ada satu pun mengurusinya.

Oleh karena itu, admin berharap postingan ini menjadi renungan dan acuan adab kita bermuamalah atau bertransaksi hutang-piutang dengan sesama. Oke, Inilah 5 dari beberapa adab kita dalam berhutang piutang dengan sesama sebagaimana tersurat atau tersirat dalam firman Allah SWT dan hadits Rasulullah saw;

1. Hutang-Piutang Agar Dicatat

Allah SWT. berfirman, yang artinya:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu berhutang-piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan mendiktekannya, dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mendiktekan, maka hendaklah walinya sudi mendiktekan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antara kalian. Jika tidak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguan. Kecuali jika berjual-beli dengan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual-beli, dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah. Allah mengajarmu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Al-Baqara, 282)


2. Hutang-Piutang Sewaktu-waktu Perlu Barang Jaminan


Allah SWT. berfirman, yang artinya:
Jika kamu dalam perjalanan (dan berhutang-piutang) sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya. Dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al-Baqara: 283)

3. Hutang-Piutang Orang Yang Meninggal Ditanggung Ahli Waris

Allah SWT. berfirman, yang artinya:
Dan bagimu (para suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau sesudah dibayarkan hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau sesudah dibayarkan hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayarkan hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. (An-Nisaa, 12)

4. Hutang Harus Dibayar Kecuali Dima’afkan atau Direlakan

Allah SWT. berfirman, yang artinya:
Dan jika (orang yang berhutang) dalam kesulitan maka berilah tangguh sampai dia berkemudahan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang) itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (Al-Baqarah, 280)

Rasulullah saw. bersabda, yang artinya:
Dari Abu hurairah ra. Bahwa sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: “Ada seseorang yang yang biasa memberi hutang kepada orang lain dan selalu berkata kepada tukang tagihnya bahwa jika kamu mendatangi orang yang memang dalam keadaan susah, maka ma’afkanlah dia. Semoga Allah mema’afkan kami. Sehingga apabila dia berhadapan dengan Allah maka Allah mema’afkannya.” (HR. Bukhari & Muslim)

Dari Jabir Radliyallaahu 'anhu berkata: Ada seorang laki-laki di antara kami meninggal dunia, lalu kami memandikannya, menutupinya dengan kapas, dan mengkafaninya. Kemudian kami mendatangi Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan kami tanyakan: Apakah baginda akan menyolatkannya?. Beliau melangkan beberapa langkah kemudian bertanya: "Apakah ia mempunyai hutang?". Kami menjawab: Dua dinar. Lalu beliau kembali. Maka Abu Qotadah menanggung hutang tersebut. Ketika kami mendatanginya; Abu Qotadah berkata: Dua dinar itu menjadi tanggunganku. Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Betul-betul engkau tanggung dan mayit itu terbebas darinya." Ia menjawab: Ya. Maka beliau menyolatkannya. Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim. ( Bulughul Marom, HN. 900 )

5. Orang Yang Berpiutang (Yang Dihutangi) Berhak Menagih

Rasulullah saw. bersabda, yang artinya:
Dari Abu Hurairah ra. Bahwa sesungguhnya ada seseorang datang kepada saw. untuk menagih hutang dengan suara lantang sehingga para sahabat geram, tetapi Rasulullah saw. bersabda: “Biarkanlah dia karena orang yang mempunyai hak itu ada kebebasan berbicara.” Kemudian beliau bersabda: “Berikanlah kepadanya onta yang umurnya sama dengan dengan umur onta yang aku hutang.” Para sahabat menjawab: “ Wahai Rasulullah, kami tidak mendapatkannya kecuali yang lebih tua umurnya dengan onta itu.” Beliaupun bersabda: “Berikanlah onta itu karena sebaik-baik kalian adalah yang yang paling baik membayar hutang.” (HR. Bukhari & Muslim).

Demikian postingan kali ini, dengan judul Adab Berhutang-Piutang pada Label Renungan. Ssemoga bermanfa’at dan sampai jumpa di lain kesempatan. Insya Allah.

Baca Juga:
SHARE
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar: